Selasa, 17 Juni 2008

Lebih dekat dengan pribadi Mulia

Ibu Cicih
Pendidikan anak nomor satu !


Kehidupan harmonis sebuah keluarga bisa terguncang gara-gara ekonomi. Tak jarang karena masalah ekonomi, keluarga berantakan, anak-anak tak dapat meneruskan sekolah alias putus sekolah. Untuk urusan ini mungkin kita perlu berguru pada Ibu Cicih seorang pemulung yang memiliki segudang pengalaman pahit masalah ekonomi keluarga tapi sukses mendidik anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi.

Di perumahan Taman Kenari Jagorawi sering terlihat seorang ibu pemulung berkerudung dengan perilaku yang cukup santun. Tak jarang sebelum memulung barang bekas dia menanyakan dulu ke tuan rumah apakah barang tersebut telah dibuang, baru setelah mendapat penjelasan ibu pemulung memungut barang bekas itu. Seperti kebanyakan pemulung mungkin kita hanya sepintas memperhatikannya.
Ibu pemulung itu bernama Cicih atau lengkapnya Cicih Samsiyah. Wanita kelahiran Sukabumi 48 tahun lalu itu pada awalnya hidup layak sama seperti wanita-wanita lainnya. Ia bersuamikan Yuyun Suryana seorang karyawan sebuah perusahaan di Citeureup. Kehidupannya cukup, sebagai istri seorang karyawan berpenghasilan layak dan empat putra-putri yang mndampinginya. Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama, tahun 1999 terjadi pengurangan karyawan di tempat suaminya bekerja, dan suaminya terkena PHK. “Pada waktu itu anak masih empat, yang sulung SMA, anak kedua SMP, anak ke tiga dan ke empat masih SD”, tuturnya ke pada for U.
Kejadian PHK itu cukup mengguncang keluarganya, tapi tak berlangsung lama. Pasangan Yuyun dan Cicih segera mengambil sikap : “Ikhlas menerima keadaan dan yang penting adalah tetap menyekolahkan anak-anaknya” kata bu Cicih. Uang pesangonpun disiapkan untuk biaya sekolah anak-anaknya. Tapi apa dikata karena mahalnya biaya pendidikan, akhirnya uang pesangon habis juga . Menyikapi kondisi itu, pasangan Yuyun dan Cicih sadar ia tidak punya kemampuan lain, maka ia memutuskan: “Bekerja apa saja yang penting halal” ungkap bu Cicih. Diawali dengan mengumpulkan dan dagang karung bekas. Dan sejak 2002 mulailah pasangan suami istri itu menjadi pemulung, lokasinya di kompleks perumahan TKJ dan untuk menambah peghasilan ibu Cicih juga membantu mencuci dan seterika.
Lalu bagaimana sikap kelima anaknya terhadap pilihan kerja orang tua sebagai pemulung? “Alhamdulillah anak-anak mendukung, mereka ikut prihatin dan berusaha rajin belajar hingga mendapat bea siswa”.
“Alhamdulillah” ucap syukur ibu Cicih, kini anak sulungnya (25 th) telah menikah dan memiliki satu anak, anak ke dua (22 th) dan ke tiga (20 th) kuliah di STIE di bilangan Cijantung serta kerja di Cibubur, anak ke empat (19 th) di SMA Negeri Citeureup dan bungsu (9 th) masih SD.
Ibu Cicih yang saat ini menghuni gubug di samping pagar perum TKJ ini berpesan “Kepada keluarga-keluarga yang saat ini mapan agar berhati-hati dan semoga tidak mengalami hal seperti yang saya alami. Saya juga menyampaikan terima kasih kepada semua, siapa saja yang telah membantu keluarga saya”, demikian pesannya mengakiri wawancara dengan for U di teras masjid Al Ashr TKJ lepas Ashar (08/06/2008).
(DS)

Tidak ada komentar: