Selasa, 17 Juni 2008

Belajar dari Kepemimpinan Al-Fatih

Sang Penakluk Konstantinopel

“Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada dibawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR. Ahmad bin Hambal Al-Musnad)

ITULAH RAMALAN RASULULLAH SAW terhadap Konstantinopel. Kota yang dikelilingi oleh laut dan terletak persis diantara benua Asia dan Eropa. Bahkan Konstantinopel dianggap sebagai kota paling strategis di dunia. Dikatakan, bahwa sekiranya dunia ini berbentuk satu kerajaan, maka Konstantinopel akan menjadi kota paling cocok untuk menjadi ibukotanya.

Sejak kerajaan Romawi, Byzantium dijadikan sebagai ibukota pemerintahan. Banyak bangsa di dunia berusaha merebut dan menguasainya. Tapi upaya mereka itu selalu gagal, karena perbentengan Konstantinopel yang tidak bisa ditembus.

Delapan abad kemudian, ramalan Rasulullah pun terbukti. Sultan muda dari kerajaan Turki Utsmani, Muhammad Al-Fatih “Sang Penakluk” berhasil menuntaskan amanat Rasulullah dengan menaklukkan Konstantinopel. Sehingga, kota inipun beralih menjadi ibukota kerajaan Turki Utsmani, yang sekaligus menjadi pusat peradaban Islam kedua.

Al-Fatih merupakan sosok pemuda yang cerdas dan memiliki kemauan keras dalam berjihad. Kemauannya yang keras, disertai sifat pemberani, dan fisik yang kuat, membuatnya mampu mengatasi berbagai rintangan yang dihadapinya. Beliau merupakan seorang yang sangat mencintai jihad, sebagian besar hidupnya dihabiskan diatas punggung kudanya.

Diantara jadwal pertempuran yang padat, beliau secara serius melakukan banyak perbaikan dalam hal perekonomian, pendidikan, dan lain-lain. Beliau membangun Istambul menjadi pusat pemerintahan yang sangat indah dan maju, disamping sebagai bandar ekonomi yang sukses.
Dalam memimpin pasukan, beliau memiliki disiplin yang tinggi dan sangat pandai menjaga rahasia. Beliau bersikap sangat tegas terhadap berbagai pelanggaran dan kelalaian dalam bertugas. Kemampuan menjadi standar dalam memilih pegawai dan pejabat.
Beliau selalu berusaha untuk mendengarkan keluhan-keluhan rakyatnya dalam berbagai kesempatan. Seringkali beliau turun ke jalan-jalan untuk mengamati kondisi rakyatnya secara langsung serta untuk mendengarkan berbagai keluhan dari mulut mereka.

Beliau berusaha untuk tidak membeda-bedakan siapapun diantara rakyatnya. Semua orang dari berbagai bangsa dan agama yang hidup dibawah naungan pemerintahan Utsmani memperoleh apa yang menjadi hak mereka.

Beliau banyak membantu para ulama serta orang-orang tak mampu yang membutuhkan bantuan. Sikapnya yang dermawan ini menyebabkan beliau memperoleh gelar Abul Khair (Bapak Kebaikan).

Kecintaan beliau terhadap ilmu dan para ulama sangat luar biasa. Beliau terbiasa mengundang para ulama, disamping juga para sastrawan dan para ilmuwan pada umumnya ke istana untuk berdiskusi. Beliau sangat memperhatikan keadaan serta kebutuhan para ulama yang ada di zamannya serta berusaha untuk menanggung segala keperluan mereka.

Demikianlah sosok hamba Allah yang dimuliakan-Nya sebagai sebaik-baik pemimpin. Disaat krisis kepemimpinan melanda umat sekarang ini, maka sungguh sangat naif jika kita tidak mau mengambil pelajaran berharga dari sosok mulia Al-Fatih sebagai pemimpin. Paling sedikit ada 10 karakter kuat sebagai manifestasi ketaqwaan kepada Allah SWT yang patut diteladani dari beliau; cerdas, berkemauan keras, pemberani, disiplin, tegas dan adil, peduli dan empati, dermawan, cinta ilmu.
Tak harus menunggu menjadi seorang pemimpin negara untuk meneladani kepribadian beliau, tapi mulai dari pemimpin keluarga, Ketua RT, RW, Kepala Desa, Kepala Daerah dan strata kekuasaan yang lebih luas genggamannya.

Abi Fatih, Referensi. Alwi Alatas “Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel”, terbitan Zikrul Hakim, Jakarta, Cet ke I, 2005.

Tidak ada komentar: